Tulisan ini hasil kolaborasi Mercusuar dengan Tempo Institute, Tempo.co didukung International Media Support (IMS) untuk memperingati tiga tahun gempa di Pasigala

LAPORAN: KARTINI NAINGGOLAN

Nani Pinontoan, 67 tahun, sempat merasa lega ketika Kepala BPBD Kota Palu, Singgih Prasetyo, mengujungi mereka di hunian sementara (huntara) Mamboro, Palu Utara, pada  Maret 2020. Sebagai penyintas korban gempa yang tak punya alas hak, Nani menganggap Singgih membawa kabar yang menggembirakannya.

Kabar baik itu adalah permohonan dana stimulan maupun hunian tetap (huntap) penyintas yang tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan dapat diakomodasi hanya dengan menunjukan surat keterangan dari pemilik lahan.

Namun, Nani  menelan kekecewaan. Dia harus pasrah tak bisa tinggal di huntap. Penyebabnya, nama suaminya hilang dari daftar penerima huntap Buddha Tzu Chi di Kelurahan Tondo,  Palu Timur, yang diumumkan November 2020.

“Kami bisa dapatkan stimulan atau huntap kalau ada surat keterangan hibah dari pemilik lahan. Kami sudah urus itu surat, nama kami keluar sebagai penerima Huntap di Tondo. Tapi saat undian kunci rumah, nama kami sudah tidak ada,” kata Nani dengan nada kesal pada Kamis, 30 September 2021.

Selain Nani, ada empat kepala keluarga di huntara Mamboro yang namanya hilang dari daftar penerima huntap. Mereka berharap, jika tidak diberikan huntap, paling tidak pemerintah memikirkan nasib mereka ke depan. Apalagi kondisi huntara yang mereka tinggali saat ini sudah sangat tidak layak lagi. Atap huntara banyak yang bocor, dindingnya rapuh.

“Paling tidak pemerintah memberikan kami stimulan. Mau status rusak berat, sedang, atau ringan, terserah pemerintah yang penting kami bisa membangun huntap mandiri, seperti yang dilakukan penyintas lainnya di kelurahan Mamboro,” ujar Nani. Besarnya stimulan untuk rumah rusak berat adalah Rp 50 juta, rusak sedang Rp 25 juta, dan rusak ringan Rp 10 juta.

Bukan cuma Nani, Nerlan, 30 tahun, juga mengalami nasib yang sama. Nama suaminya tiba-tiba hilang dari daftar penerima Huntap Buddha Tzu Chi di Tondo. Sebelumnya mereka telah melengkapi semua dokumen yang diperlukan untuk mendapatkan Huntap, dan sudah melewati proses verifikasi.

“Pemerintah Kota Palu sepertinya pilih-pilih orang dan tidak adil. Kalau yang lain bisa dapat huntap dan stimulan dengan status tidak punya alas hak berupa sertifikat dan hanya surat keterangan hibah saja, kenapa kami tidak bisa dapat?” tanya Nerlan.

Nani Pinontoan, Korban bencana di Huntara Mamboro yang tidak bisa mendapatkan hunian tetap dan stimulan karena tidak memiliki hak alas hak.FOTO : KARTINI NAINGGOLAN

Diusir dari Huntara

Lain lagi dengan Anton, 45 tahun, penyintas bencana di huntara Donggala Kodi. Huntara yang ditempati selama sekitar 3 tahun dibongkar pada 30 September 2021. Pembongkaran huntara itu dilakukan karena masa kontrak lahan telah berakhir. Pemilik lahan akan menggunakan lahan itu.

“Saya tidak tahu mau kemana lagi, kami diusir. Huntara kami sudah dibongkar. Tolong bantu kami, sampaikan kepada Pak Wali Kota bagiamana nasib kami,” ujar Anton.

Sebelumnya di huntara itu dihuni 38 kepala keluarga. Sebagian besar penyintas terpaksa mencari tempat tinggal baru. Ada yang menyewa rumah kost, hingga menumpang tinggal di rumah sanak saudara. Anton terpaksa harus menyewa satu petak kost tidak jauh dari huntara yang telah di bongkar.

Sebelumnya,  penghuni huntara Donggala Kodi diminta untuk pindah ke huntara lain yang belum dibongkar. Namun huntara yang akan dituju, seperti Huntara Duyu dan Mamboro, sudah tidak layak lagi untuk ditempati karena rusak.

“Belum tuntas masalah stimulan atau huntap, kami dipersulit lagi karena huntara dibongkar. Kenapa pemerintah tidak bantu kami, paling tidak memperpanjang masa kontrak lahan huntara,” ujar Anton.

Fath, 52 tahun, warga Kelurahan Lere, merasakan hal yang sama. Huntaranya ikut dibongkar. Selama tiga tahun, Fath bersama keluarganya yang berjumlah 5 orang tinggal di huntara Donggala Kodi yang sempit dan minim fasilitas.

“Saat ini kami sudah pasrah, terserah pemerintah mau kase (berikan) apa, yang penting kami bisa bertahan hidup. Kasihan anak saya masih kecil-kecil. Selama ini tinggal di hutara sempit sudah bersyukur karena kami tidak punya tempat tinggal lagi setelah hancur karena tsunami,” kata Fath.

Kondisi yang sama dialami 64 kepala keluarga penyintas bencana di huntara lapangan bola Anoa, Palu Selatan. Huntara mereka sudah rata dengan tanah. Pembongkaran dilakukan karena lokasi itu akan dibangun lapangan sepak bola.

Korban bencana yang sudah 3 tahun tinggal di Huntara Talise. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN

Pemerintah Harus Bertangung Jawab

Direktur Komunitas Celebes Bergerak, Adriansa Manu mengatakan bahwa selama ini ada kesan bahwa warga yang tidak memiliki alas hak berupa sertifikat, dianggap bukan warga terdampak bencana (WTB). Mereka tidak berhak mendapatkan bantuan baik stimulan maupun huntap.

Menurutnya, akibat bencana alam yang terjadi 28 September 2018, banyak warga yang kehilangan tempat tinggal, bahkan kehilangan mata pencarian dan akhirnya menjadi pengangguran.

Pandemi Covid-19 membuat kondisi makin runyam. Korban bencana yang sudah kehilangan pekerjaan tidak berdaya karena dibatasi untuk melakukan aktivitas di luar rumah. “Pemerintah seharusnya bertanggung jawab, karena semua warga tanpa terkecuali adalah warga Palu yang saat bencana menjadi korban,” kata Adriansa, Kamis, 30 September 2021.

Hasil survei Komunitas Celebes bergerak, ada 155 KK dari huntara Donggala Kodi, Palupi, Pengawu, Terminal Mamboro, Buvukulu, dan Hutan Kota yang tidak memiliki alas hak. Mereka inilah yang dipastikan tidak akan mendapatkan stimulan maupun huntap, karena dianggap bukan WTB.

Menurut Adriansa, sampai saat ini penyintas terlantar dalam waktu yang cukup pajang. Penyebabnya, pemerintah gagap menangani korban bencana.

“Persoalan data sangat kacau dan tak selesai-selesai, sehingga implikasinya dana stimulan tidak terdistribudi merata kepada korban bencana. Data selalu beruba-ubah setiap waktu, apalagi banyak oknum yang bermain dalam hal penyiapan data,” ujar Adriansa.

Sementara, kata dia, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota seakan lepas tangan dan selalu melimpahkan masalah kepada pemerintah pusat. Padahal, pemerintah provinsi, kota dan kabupaten justru memiliki tanggung jawab dalam pengalokasian anggaran sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Ditambah lagi, daerah juga memiliki aturan tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana seperti disebutkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 2 tahun 2013 pada pasal 4 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Menurut Adriansa, penanganan bencana harus mengedepankan asas keadilan, kemanusiaan, kebersamaan, dan kepastian hukum. “Jadi, tidak boleh satu pun penyintas diabaikan haknya hanya karena masalah administrasi. Bahkan prinsip penanganan bencana harus mengedepankan transparansi dan akuntabilitas serta tidak boleh diskriminatif,” ujar dia.

Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kota Palu, Issa Sunusi, mengatakan setiap korban bencana harus dibantu. Dia menyebutkan berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2007 tetang Penanggulangan Bencana, bantuan untuk penyintas tidak menyebut mereka harus memiliki alas hak.

“Kalau merujuk ke undang-undang kedaruratan, semua harus dibantu, tapi bukan terhadap hak. Misalnya tanah dan bangunan. Ini bisa dilihat dalam UU agraria. Jadi untuk melaksanakan UU tetang Penangulangan Bencana, kita juga harus melihat UU lainnya,” kata Issa.

Penyimpangan Data Penerima Stimulan

Tudingan penyimpangan data penerima stimulan juga datang dari Kepala Ombudsman perwakilan Sulawesi Tengah, Sofian Lembah. Menurut Sofian, masalah stimulant adalah masalah data.

“Sejak awal Ombudsman meragukan data yang dirilis pemerintah,” Sofian Lembah, Rabu, 13 Oktober 2021.

Sofian membeberkan bahwa, pascabencana Palu yang terjadi pada 28 September 2018 itu, pemerintah Kota Palu mengajukan 43 ribu lebih data penerima stimulan, dan pemerintah pusat menyiapkan dana lebih dari Rp800 miliar.

Namun dalam perkembangannya, Bappeda Kota Palu merevisi lagi data yang sebelumnya keluar dari BPBD dan PU menjadi 38.805 penerima stimulan. Belakangan, muncul lagi data baru yang dikeluarkan Bappeda sebanyak 15 ribu penerima.

Pergeseran data itu, kata Sofian, cukup drastis. Pemerintah Kota Palu mengklaim banyak data yang tidak memenuhi syarat. Dari 15 ribu penerima itu, stimulan sudah dibayarkan dan menyisahkan Rp 150 miliar lebih.

Sofian mengungkapkan bahwa Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid, melakukan pertemuan bersama Ombudsman di ruang kerjanya pada pada Rabu, 13 September 2021.Pilihan Redaksi :  Kendaraan yang Beroperasi di Sulteng Diminta Pakai Plat DN

Hasil pertemuan tersebut, salah satunya membahas rencana pemerintah Kota Palu mengajukan 4.770 data penerima stimulant ke pemerintah pusat. Jumlah 4.770 itu merupakan data yang sebelumnya dianggap bermasalah ketika dilakukan verifikasi, misalnya tidak memiliki alas hak berupa sertifikat kepemilikan tanah.

Sebanyak 4.770 data itu, kata Sofian, telah dikirimkan ke pemerintah pusat. Jika sisa dana Rp 150 miliar bisa mengakomodir data yang ajukan ke pusat, maka masih ada sisa dana sekitar Rp85 miliar. “Data 4.770 ini nantinya hanya menghabiskan dana sekitar Rp60 miliar lebih, maka masih ada sisa dana Rp85 miliar lebih,” kata Sofian.

Wali Kota Palu Hadianto ingin agar sisa dana Rp85 miliar lebih ini nantinya diubah untuk rehabilitasi dan konstruksi bagunan perkantoran Kota Palu. Dia ingin sisa dana stimulan sebaiknya dimanfaatkan untuk keperluan itu, sehingga tidak dikembalikan ke kas negara.

Selama ini, kata Sofian, Hadianto bicara bahwa data penerima stimulan ada 38.805 kepala keluarga, tapi yang terealisasi hanya 15 ribu. Inilah yang menyebabkan adanya selisih dan sisa anggaran.

Menurut Sofian, pergeseran data terjadi karena sejak awal pendataan sudah terjadi maladministrasi. Apalagi semua kelurahan memilikidata yang berbeda. Ini juga tidak lepas dari adanya permainan data dari kelurahan. Ombudsman, ujar Sofian, banyak mendapatkan datanya.

Sofian mencontohkan ada nama penerima yang bukan penyintas, ada juga data dalam satu rumah menerima lebih dari satu stimulant. Bahkan, ada penerima huntap yang juga menerima stimulant. Padahal dalam aturan, penerima huntap tidak boleh menerima stimulan, demikian pula sebaliknya.

Upaya konfirmasi ke Hadianto terkait hal ini terus dilakukan. Tapi hingga berita ini diturunkan, Hadianto tak merespons pertanyaan yang diajukan melalui pesan singkat. Juga sulit ditemui.

Huntara Mamboro. Kurang lebih tiga tahun korban bencana Palu masih bertahan di Hunian Sementara karena belum memiliki hunian tetap. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN

Dikembalikan ke Kas Negara

Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kota Palu, Issa Sunusi, menjelaskan sisa dana stimulant harus dikembalikan ke kas negara. Ini sesuai ketentuan Kementerian Keuangan di mana sisa anggaran tidak bisa dilakukan peralihan kebutuhan. Namun dia mendukung niat Hadianto untuk mengalihkan sisa stimulan untuk infrastruktur.

“Maksud dan tujuan wali kota Palu terkait usulan pengalihan, itu baik dan tidak salah, mengingat masih ada beberapa prasarana yang harus dibenahi, seperti tanggul Petobo,” kata Issa.

Apalagi, kata dia, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pekekerjaan yang sifatnya fisik dan infrastruktur bisa ditangani oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah, khusunya untuk ruang publik.

Namun Issa, menekankan pengalihan stimulan itu harus mematuhi aturan, di mana sisa dana harus di kembalikan ke kas Negara. “Pihak BPBD Palu sudah menyampaikan ke Wali Kota bahwa ada regulasi yang harus dipenuhi terkait pengalihan sisa dana stimulan,” ujar Issa.***