Darah pejuang mengalir dalam darahnya. Itulah sosok H Rusdy Toana yang banyak menghabiskan masa kecilnya di kampung Tokorondo, ketika pergolakan politik melawan penjajah Belanda di Parigi semakin gencar. Dia merupakan anak ketiga dari 9 bersaudara, putra seorang pejuang kemerdekaan bernama Abdul Wahid Toana.

=================================

Fery eL Shirinja/Litbang Mercusuar-Trimedia Grup

=================================

SALAH Satu ungkapan Rusdy Toana yang popular saat itu adalah bahwa cendekiawan harus sanggup berdialog secara terbuka. Orang yang tidak pandai berdialog menunjukkan ciri orang yang berjiwa kerdil, karena tidak mampu menerima kritikan. “Masyarakat modern harus mampu berdialog dan menerima kritikan,” ungkap Rudsy Toana pada suatu waktu, seperti yang ditulis oleh H. Andi Maddukeleng dalam bukunya berjudul Semerbak Tona Kodi (2015).

Rusdy Toana mengungkapkan pendapat itu, saat menjabat sebagai Rektor Unismuh Palu dalam menanggapi rencana seorang pengacara di Palu yang hendak menggugat dua pejabat teras Untad, sehubungan statemen mereka yang dilansir surat kabar Mercusuar mengenai mutu Sarjana Untad.

Sebagai mantan Dekan Sospol Untad, Rusdy Toana kala itu mengatakan bahwa ciri Masyarakat tertutup akan mengakibatkan pembusukan sehingga menimbulkan penyakit atau borok kedalam, dengan kata lain bahwa masyarakat itu tidak mampu menerima Pembangunan.

Masih menurut Rusdy Toana, bahwa kritikan itu adalah bentuk motivasi untuk memperbaiki diri atau lembaga, bukan dianggap sebagai suatu penghinaan, karena secara ilmiah bahwa mengungkap kekurangan, kelemahan, dan kendala suatu lembaga adalah bentuk introspeksi untuk memacu peningkatan kearah yang lebih baik. Bagi Rusdy Toana, jika ada yang tersinggung, maka itu masih wajar, tetapi jika ada yang terhina, maka ia menilainya sebagai jiwa orang yang kerdil dan tertutup dari modernisasi.

Bagi sang Perintis berdirinya Provinsi Sulawesi Tengah dan Universitas Tadulako Palu ini, kritikan merupakan bentuk motivasi untuk perbaikan. Dan terbukti bahwa apa yang disampaikannya kala itu, dapat dilihat saat ini, dimana Universitas Tadulako sudah sangat maju dan berkembang. Alumninya pun memiliki kualitas yang melampaui standar. Pun demikian dengan IUN Datokarama Palu yang kini cukup pesat kemajuannya. Begitu juga Universitas Muhammadiyah Palu, kini telah menjadi kampus swasta terdepan di Bumi Tadulako dan alumninya mampu bersaing dengan alumni perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia.

Cara berpikir visioner Rusdy Toana itu adalah legacy dan motivasi dari sang ayah Abdul Wahid Toana yang merupakan pejuang merah putih melawan Belanda Pada Perang Dolago Parigi 1937. Saat itu, walaupun perlawanan terhadap Belanda dilakukan dengan peralatan  seadanya, termasuk menggunakan bambu yang diruncingkan bagian ujungnya, Abdul Wahid Toana optimistis bahwa Indonesia suatu saat akan Merdeka dan penajajah akan meninggalkan tanah air tercinta.

Jiwa patriotisme dan optimisme sang ayah itulah, yang turun dan mengalir di darah Rusdy Toana, sehingga hidupnya dihabiskannya untuk terus memperjuangkan Indonesia dan Sulawesi Tengah, agar tercerahkan dan berkemajuan. Sejak mulai bergabung dengan tentara pelajar di Yogjakarta hingga mendirikan HMI Palu dan memimpin organisasi Muhammadiyah di bumi Tadulako, Rusdy Toana terus memberikan teladan kesederhanaan dalam kesehariannya.

Begitu pula kepada anak-anaknya, Rusdy Toana yang sangat layak dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional ini, memberikan Pendidikan dengan keteladanan, sekaligus menjadi inspirasi bagi anak-anaknya. Rusdy sangat dekat dengan semua kalangan, begitu juga yang dimiliki oleh anak-anaknya, termasuk Tri Putra Toana yang saat ini menjadi pemimpin Trimedia Grup sekaligus sebagai Ketua PWI Sulawesi Tengah. Sosok Tri Putra Toana ini mewarisi sifat kesederhanaan sang ayah, Rusdy Toana.

Berdasarkan penuturan Ahmad Averus Toana, anak bungsu Rusdy Toana yang akrab disapa Uki Toana ini, seperti yang ditulis oleh H Andi Maddukeleng (2015) bahwa, Rusdy Toana, selain memberikan nasehat, juga memberikan teladan. Selalu seirama kata dan Tindakan. Perhatian dan optimismenya terhadap pendidikan sejak lama cukup terasa oleh si bungsu Uki Toana. 

Dia menyekolahkan Uki di TK Aisyiyah Bustanul Atfhal (ABA) dengan kondisi yang serba darurat kala itu. Begitu juga saat Tamat TK ABA, sang ayah memaksanya sekolah di MI Muhammadiyah Alhaq Palu yang menjadi angkatan pertama. Karena sat itu, Rusdy Toana yang pernah menjadi Staf Pribadi Perdana Menteri Mohammad Natsir ini, optimis bahwa TK ABA dan MI Alhaq Palu akan maju di masa mendatang. 

Bahkan Uki saat usia 6 tahun sudah diajak ke Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo tahun 1985. Berselang 10 tahun kemudian, Uki diajak lagi ke Muktamar Muhammadyah ke-43 di Aceh tahun 1995. Begitulah cara Rusdy Toana mendidik dengan keteladanan.

Di Muhammadiyah, sosok yang pernah menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Tengah sejak 1992 hingga akhir hayatnya ini, punya komitmen yang tinggi terhadap garis organisasi dan tidak pernah membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.

Seperti dikutip dari laman www.roemahkata.com, bahwa suatu ketika Rusdi Toana pada siang menjelang sore di pengujung 1998, usai menjadi khatib Jumat di Masjid Al Haq Palu, malah tidak langsung pulang ke rumah. Rusdy Toana bersama beberapa jamaah dari tokoh-tokoh Muhammadiyah berdisksui lepas. Anak bungsunya Uki Toana, sejak shaf shalat Jumat bubar, sudah duduk di belakang setir zuzuki vorza berkelir hijau lumut. Uki menanti sang ayah yang tak kunjung berdiri pulang.

Menggunakan kemeja safari berkelir biru dongker, Rusdy Toana lantas melepas peci hitamnya. Sesaat kemudian ia bersandar di dinding seolah berbagi dengan dinding untuk menopang sebagian berat tubuhnya. Gerakan tubuhnya yang melambat mengirim pesan soal usia senja yang terus menggerogoti semangatnya. Namun seperti yang terlihat sore itu, ghirahnya tetap menyala. Itulah Rusdy Toana, semangatnya tak pernah padam. Bukti Karya keabadiannya pun tetap eksis hingga kini.

Kepulangannya ke pangkuan Ilahi memang menyisakan kesedihan, tetapi tidak sedikit yang menyisakan kenangan dan decak kagum akan karya-karyanya, juga perjuangannya, dan cerita hidupnya. Begitulah sosok Tonakodi ini dikenang. ***